I Wish This is One Shoot Story
"The Moment-2"
(Astoria Greengrass-Draco Malfoy)
By : @nyipinyip
Salju telah
turun. Aku memutuskan pergi menggunakan baju yang senyaman mungkin. Mantel bulu
berwarna kecoklatan, topi wol senada, dan syal kuning keemasan, cukuplah. The
Three Broomstick menjadi pilihanku, setelah beradu argumen yang 'cukup panjang'
dengannya. Saturday night,
murid-murid Hogwarts pasti akan menghabiskan malamnya di Hogsmeade. Dan
kedai-kedai minuman akan penuh sesak. Apalagi kedai milik Madam Rosmerta itu,
daripada hanya berdua dengannya, aku lebih memilih berdesak-desakan.
Namun aku
salah, The Three Broomstick kali ini sangat sepi. Bukan, ini bukan sepi. Kedai
ini sepertinya 'disulap' hanya untuk 'kencan' (kau tak tau bagaimana ekspresi
mukaku)-ku dengannya. Lampu yang temaram, perapian yang menyala, taplak taplak
meja baru, misletoe dimana-mana, dan
apa itu? Mawar merah menghiasi satu buah meja disudut ruangan, lengkap dengan
lilin-lilin kecil penghangat suasana. Sial, aku bergumam.
Aku telah menunggu
lewat dari 10 menit dari waktu yang ditetapkan. Dan tak nampak tanda-tanda
kehadirannya. Madam rosmerta menyuguhkan Butterbeer
yang kedua dihadapanku. Dia tersenyum senang. Ah rupanya ada yang
bersekongkol kali ini.
Draco muncul
pukul 19.15, disaat aku sedang sibuk-sibuknya melihat benda putih mungil turun
dari langit di balik jendela.
"Aku
tidak telat kan, Astoria?" Draco menyapaku. Sweater rajutan berlambang M besar berwarna hijau tua cocok sekali dengan tubuh tingginya yang tegap.
Rambutnya disisir rapi kebelakang, dan tentu saja bau parfumnya yang maskulin
menyeruak seantero ruangan. Tak dapat dipungkiri, ia memang telah membuatku
terkesan. Aku tersadar telah melihatnya dalam waktu yang cukup lama dan
langsung saja kupanglingkan wajahku. Astaga, apa yang aku pikirkan!!!
"Well, mungkin saja jam-mu yang terlalu
cepat. Kau sudah lapar?"
Lagi-lagi, ia
selalu membuatku kesal.
"Kau
datang terlambat Draco, dan kau berusaha untuk membual! Oh, demi jenggot
Merlin!" Aku menatapnya tajam.
"Jangan
menatapku begitu, Astoria sayang. Aku bisa mati nih". Draco duduk tepat
didepanku dan menopang dagunya sambil tersenyum.
Kembali aku
mengalihkan pandangan. Aku tak kuat melihat senyuman-maut-khasnya yang akan
membuatku mual.
Makan malam
ditutup dengan dessert pilihannya,
puding ceri saus almond. Aku tak sadar, kami ditemani dengan alunan musik
klasik yang berbunyi begitu saja. Dan aku tak tertarik mencari sumbernya.
"Makan
malam selesai, aku mau pulang". Aku berniat berdiri tapi Draco mencegahku.
"Tunggu,
selesai makan dan kau mau pergi saja? Siapa yang akan membayar?" Draco memasang
wajah serius.
Sial, makan
malam macam apa ini! Kenapa aku yang harus membayar! Kuambil beberapa galleon
dari dompet dan kuletakkan disamping meja. Mukaku merah padam. Laki-laki macam
apa dia, gerutuku.
"Lain
kali jangan pernah ajak aku makan malam lagi, Poor Draco Malfoy!" Tanganku ditarik kearahnya dan aku masih
tertahan duduk.
Draco
mengambil galleon-galleon tersebut dan menyisipkan kedalam dompetku.
"Aku
ingin memberimu hadiah, sesuatu yang tak pernah kuberikan sebelumnya."
Nada bicaranya mulai serius. Ia menggeser kursinya sehingga kini ia tepat
disampingku.
Pikiranku
menerawang. Hingga tahun kelima ini, sudah tak terhitung berapa banyaknya ia
mengirimiku hadiah. Boneka, liontin, coklat, bahkan ia memberiku tiket liburan.
Namun, tak satupun dari hadiahnya yang kumiliki saat ini. Aku lebih memilih
untuk mengembalikannya.
Aku mulai
gugup. Draco semakin mendekatkan wajahnya kearahku. Ditambah lagi dengan
suasana yang temaram dan alunan musik klasik nan romantis. Satu lagi, daun-daun
misletoe mulai beraksi.
"Kau
berharap aku memberimu sebuah ciuman?"
Draco pun
terkekeh.
Mukaku merah
padam. Oh Tuhan apa yang aku pikirkan! Tentu saja aku tidak berharap demikian.
Sial.
"Kau
terlalu kepedean Draco Malfoy! Kau pikir siapa dirimu?" Aku berusaha agar
nada bicaraku tetap datar.
"Aku?
Aku Draco Malfoy, aku kekasihmu". Draco menatap tajam mata coklatku.
"Kau?
Siapa?"
"Astoria,
aku tau kau suka padaku. Benar begitu?"
"Cukup
Draco, aku muak dengan semua bualan dan kepedeanmu. Aku muak!"Aku
melemparkan pandangan ke arah jendela. Aku benar-benar sudah muak dengan semua
ulahnya. Untuk saat ini, yang aku inginkan adalah pulang ke Hogwarts dan tidur.
Draco
menghela nafas. Ia menggeser kursinya lagi dan makin dekat ke arahku. Tangan
kanannya menggenggam tanganku. Matanya menatap mataku lekat-lekat. Dan kedua
mata coklat kami beradu.
"Astoria,
dengarkan aku. Siapa yang selalu ada disampingmu walau kau tak membutuhkannya?
Siapa yang selalu memberimu greetings
morning tapi selalu kau acuhkan?
Siapa yang selalu memberimu hadiah-hadiah kecil tapi selalu kau kembalikan?
Berapa banyak undangan makan malam yang kau terima tapi tak pernah sekalipun
kau hadiri? Siapa yang rela mengorbankan nyawanya demi dirimu? Siapa yang rela
tidak mengikuti Yule Ball karena ditolak olehmu? Dan siapa yang selalu
mencintaimu dari pertama kali bertemu di Hogwarts
Express hingga tahun kelima ini? Yang secara nyata ia tau bahwa kau tak
pernah memikirkannya bahkan untuk sedetikpun!!".
Aku terdiam.
Jantungku seakan berhenti. Draco masih menatap mataku. Kali ini aku mendapati
pancaran mata yang bukan seperti biasa. Ada sesuatu yang tersimpan dalam mata
itu. Aku bisa merasakannya. Sesuatu yang selama ini ia pendam. Sebuah kejujuran
yang menyakitkan. Sebuah perasaan yang selalu ingin ia utarakan.
"Dengarkan
aku Astoria, akan kuberikan semuanya hanya untuk seorang gadis yang setiap
malam aku mimpikan, hanya untuk seorang gadis yang selalu kuganggu setiap saat,
hanya untuk seorang gadis yang senyumnya selalu kunantikan, hanya untuk seorang
gadis yang saat ini duduk didepanku, apapun itu".
Bolehkah?"
Draco makin mempererat genggaman tangannya.
"Bolehkah
kuberikan nama belakangku untukmu?"
Bulir-bulir
air mata mengalir begitu saja. Hatiku mencelos. Terbayang semua kenangan selama
5 tahun silam. Hogwarts Express, Slytherin's
common room, Quidditch, Hogsmeade, Hutan terlarang, kelas ramuan dan semua
hal-hal bodoh yang ia lakukan hanya untukku. Benar, memang hanya untukku.
Lidahku kelu, seakan berada di titik terbawah dalam hidup. Aku terlalu kejam
untuk tidak pernah menanggapinya. Terlalu egois hanya untuk memikirkan diriku
saja. Tanpa pernah melihat bahwa ada sesuatu yang nyata setelah 5 tahun ini.
Aku terlalu bodoh!
Tiba-tiba
saja sebuah mawar putih ia daratkan dihadapanku. Dan segera saja ia berlutut,
mengenggam tangan kananku.
"Bolehkah?"
Draco berucap lirih.
Aku
mengangguk pelan, dan tersenyum. Air mata tak terbendung lagi. Aku menangis
sejadi-jadinya. Menangisi kerasnya hatiku selama 5 tahun ini, menangisi
seseorang yang tak pernah kenal kata lelah mengejarku. Mengejar untuk
meyakiniku. Aku menangis bahagia.
"Akhirnya,
kau tersenyum juga, untukku." Draco tersenyum dan mengecup tanganku pelan.
Ia mengusap air mataku dengan lembut.
"Sudahlah,
kau terlihat konyol, Sayang". Sebuah belaian lembut mendarat di kepalaku
dan memudarkan semuanya.
Aku
menyandarkan kepala di bahunya. Kami duduk didepan jendela dan melihat
butiran-butiran salju bak kapas putih jatuh begitu indahnya. Menceritakan
kisah-kisah konyol dan tertawa berdua. Malam kian larut. Lonceng khas Hogsmeade
pun berdentang.
"Well, kita harus pulang, Sayang".
Draco menatapku.
"Okey,
kita memang harus pulang".
Kami beranjak
dan berpamitan dengan Madam Rosmerta yang aku-baru-saja-melihatnya-karena-dia-sedari-tadi-menghilang.
Dinginnya malam menusuk tulang. Draco mengencangkan ikatan topi dan syalku.
Kami memutuskan untuk berjalan daripada ber-apparate
hingga gerbang Hogwarts.
Tiba-tiba
saja aku teringat akan satu hal.
"Draco,
sejak kapan kau bisa berbahasa Prancis?"